Q&A – SPTP2024

Q: Menurut Bapak apa ada sisi positif dr gerakan/filsafat Postmodernisme? Lalu, apa ada kelemahan dr filsafat Modernisme?

A: Postmodernisme menyadarkan bahwa dunia ini dinamis dan berudah, dan memberikan kesadaran manusia, bahwa struktur kebenaran itu bukan mati dan materialistis, yang menjadi kelemahan Modernisme, sehingga terbawa kepada Atheisme. Ketika kebenaran hanya sebatas aturan, hukum, rumusan-rumusan, maka tidak perlu Tuhan, itu cukup di dunia material. Dan celaka manusia yang hanya dikendalikan dengan hukum-hukum dan aturan-aturan seperti Artificial Intelligence, dan kehilangan kehidupan. Manusia itu hidup dan berpribadi, maka Kebenaran sejati haruslah Hidup dan Berpribadi yang lebih besar dan lebih agung dari manusia. Dan disini kita bertemu dengan keniscayaan Personalitas Absolut dan Living Truth (Pribadi yang Mutlak dan Kebenaran yang Hidup). Dan ini hanya menjadi atribut utama Allah. Tidak ada hidup yang bisa beres tanpa kembali kepada Allah. Ini kegagalan baik Postmodernisme dan Modernisme.

Q: Pak Tjip tampaknya di jaman ini banyak murid/ generasi muda sekarang yang teracuni oleh pola berpikir popcorn, dan menghadapi kondisi ini tentu sangat tidak mudah. Bagaimana metode mengubahnya, dan bagaimana pula dampak buruk cara berpikir popcorn terhadap pernikahan dan produktivitas dalam dunia kerja? Terimakasih

A: Inilah yang saya sedang coba tegaskan dalam seminar, yaitu otak popcorn bukan sekedar diselesaikan dengan belajar fokus dan konsentrasi, tetapi jawaban yang diperlukan adalah: Berpikir Konseptual. Ujung serangan otak popcorn bukan soal fokus, tetapi akhirnya adalah tidak mampu berpikir konseptual, karena pikiran yang meletup tidak mampu terkoordinasi dan ditata secara runtut, koheren, dan konsisten. Kalau ditanya bagaimana mengubahkan, maka saya tidak punya jawaban lain, kecuali pertobatan, kesadaran, kembali kepada Allah minta pimpinan Roh Kudus, dan memulai dengan menggarap Pandang Dunia Kristen (Christian Worldview) sebagai bangunan konsep dasar. Ini hanya bisa dicapai dengan membaca Alkitab runtut dari depan ke belakang untuk mengerti totalitas pemikiran yang bersifat komprehensif dan integratif. Dari situ, kita baru bergerak ke micro-kosmik (ke dunia atau lingkup yang lebih kecil) di dalam kehidupan kita. Masih banyak yang harus dilanjutkan dari Seminar ini. Seminar ini diharap bisa membangunkan ketertiduran manusia yang merasa ini biasa-biasa saja dan tidak bermasalah.

Q: Saya adalah seorang dokter. Seringkali ketika saya membagikan informasi kesehatan, saya menyisipkan hal-hal yang bersifat teologi. Tetapi di tempat saya bertugas, respon yang sering saya terima adalah ‘sebaiknya fokus saja pada profesi yang saya tekuni yaitu sebagai dokter’. Bagaimana sebaiknya cara saya merespon hal ini?

A: Jawaban itu adalah jawaban yang salah, karena adanya pemahaman bahwa manusia hanya bisa satu bidang saja. Di era interdispliner kalimat seperti itu sudah dianggap kalimat bodoh. Saat ini seorang ahli ekonomi, juga belajar hukum, belajar filsafat, belajar sosiologi, bahkan belajar psikologi. Kalau dibilang fokus aja di ekonomi, jadi bodoh dia, karena dunia global saat ini sudah bukan dunia yang berpikir sempit.

Q: Atas nama suka jangan paksa kehendak, bagaimana memotivasi anak untuk melakukan pelayanan gereja dan membaca Alkitab bukan mana suka dan tidak suka?

A: Kehidupan bergereja dan pelayanan harusnya menjadi implikasi dari iman yang bertumbuh dan rasa cinta kepada Tuhan. Alkitab mengatakan bahwa kerohanian sejati adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan, dan mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri. Ketika kita memaksa anak untuk melayani dan bergereja karena sekedar sebuah kewajiban rutinitas seperti seorang pekerja yang tidak mencintai pekerjaannya, akan menjadi beban yang paling menjengkelkan. Akibat akhirnya, anak-anak kita akan semakin membenci Gereja, membenci Tuhan, membenci pendeta, membenci orang Kristen dan kekristenan. Ini dosa yang justru banyak orang tua lakukan. Jadi apa yang seharusnya orang tua lakukan: 1) Teladan. Seberapa orang tua cinta Tuhan, cinta gereja, cinta pekerjaan Tuhan, cinta sesama. Kalau orang tua ke gereja dengan begitu antusias, begitu serius mempersiapkan diri, dan betul-betul punya hati mengasihi Tuhan, tidak perlu terlalu repot untuk membuat anak-anak mengikutinya. Demikian juga seberapa kita banyak bercerita kepada anak-anak kita tentang Tuhan, tentang keindahan mengikut Tuhan, melayani Tuhan, menjadi berkat buat banyak orang melalui pelayanan kita, maka anak-anak kita juga akan rindu mengalami yang sama. Marilah kita menjadi orang tua bagi anak-anak kita.

Q: Saya pernah baca teori pendidikan bahwa orang dewasa hanya bisa konsentrasi 15 menit, sedangkan anak early childhood sekitar 5 menit. Setelah itu perlu ice breaking. Bisa jadi sebagian besar jemaat mengkhayal setelah 15 menit ketika mendengar khotbah. Bagaimana menurut Pak Cipto?

A: Anda sudah mengikuti seminar selama 2 jam 20 menit non-stop. Apakah setelah 15 menit pertama, Anda telah mgnkhayal dan tidak tahu lagi apa yang saya katakan. Saya mendengar dan membaca cukup banyak komentar, bahkan ada beberapa orang membuat catatan dengan begitu rapi dari awal seminar saya sampai akhir. Dan itu berarti dia berkonsentrasi penuh (karena katanya kalau sampai tidak konsentrasi, dia kehilangan pembahasan yang menurutnya cukup sulit) selama dua jam lebih. Jadi buku itu kayaknya perlu disingkirkan dan ga perlu didengar. Tidak semua buku baik. Jadi Anda perlu mencari buku yang bisa mengajar Anda lebih baik, bukan mengikuti pola pikir popcorn yang memang menggejala seperti ini.

Q: Tadi Pak Cip ada menyinggung soal mimesis dan poiesis yang sangat menarik, menurut saya tidak seorang pun bisa lepas dari dilema mimesis dan poiesis ini karena “identitas” yang telah kita bentuk sekarang ini pun menurut saya juga amalgamasi dari mimesis dan poiesis kita selama hidup kita. Tapi, menurut saya mimesis dan poiesis ini sendiri tidak salah secara inheren pak, menurut saya itu sendiri adalah sifat naluriah manusia, sama seperti aksi menyembah, manusia perlu menyembah suatu entitas ideal, masalahnya adalah ketika dunia sekuler menyembah hal hal yang bersifat self centered dan berdosa. Solusinya tentu adalah menyembah Tuhan Yesus sebagai raja kita. Dengan demikian, sebagai analog, apakah sebagai orang Kristen kita dipanggil untuk melakukan mimesis terhadap Kristus juga Pak? Terima kasih.

A: Menilai normal atau tidak normal itu bergantung kepada cara pandang (interpretasi) manusia terhadap realita. Manusia berbohong itu juga normal di dalam tataran manusia berdosa, karena tidak ada satupun manusia tidak pernah berbohong, bahkan tanpa diajari seorang anak balita-pun sudah bisa berbohong. Jadi normal atau tidak normal seperti Anda katakan, itu adalah naluri manusia sekuler yang self-centerd dan berdosa. Jadi tepat sekali, pertobatan akan membuat kita berjuang “serupa dengan kemanusiaan (bukan keallahan) Kristus” inilah mimesis yang sejati. Itu alasan dalam seminar saya tegaskan, betapa malangnya manusia yang tidak mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, yang mampu merubah seluruh hidupnya untuk melihat Kristus sebagai Adam Kedua, teladan manusia sejati yang boleh menjadi satu-satunya mimesis (idola) sejati manusia.

Q: Dimana Tuhan Yesus lebih marah, apakah di Mat 16:23 atau saat di bait Allah..membalikkan meja pedagang?

A: Tentang Tuhan Yesus marah mungkin kita sulit mendeteksi dimana lebih marah, karena ini ada dalam perasaan Tuhan Yesus. Dapat diperkirakan kemarahan Yesus terhadap Petrus dan terhadap para pedagang kemungkinan sama marah. Tetapi yang pasti, pengucapan, atau lebih tepatnya, belum pernah Yesus mengeluarkan kalimat yang sedemikian (kalau boleh dikatakan dengan bahasa lugas: kasar dan tajam), dimana Yesus menghardik Petrus dengan kata: ”Minggir Setan!” Kalimat ini coba dilunakkan dengan kalimat LAI: ”Enyahlah Iblis,” walaupun bukan berarti kalimat ini juga enak didengar kalau dilontarkan ke diri kita. Jadi perkataan Tuhan Yesus ke Petrus ini adalah kalimat yang sangat keras, tajam, dan menusuk Petrus begitu dalam. Dan hardik (maki) seperti ini tidak pernah Tuhan Yesus lontarkan sebelumnya ke siapapun juga, termasuk ke murid-Nya, dan sesudahnya, pun Tuhan Yesus tidak pernah mengatakan seperti ini lagi. Jadi dari sini kita bisa melihat keseriusan kasus yang terjadi saat itu.